AYCS.COM - Satu bulan menjelang pemilihan anggota parlemen Maroko tahun 2014 yang jatuh tepat pada Ramadhan 1435, atmosfer politik terasa cukup panas. Tempat-tempat ibadah di negara tersebut pun tak luput dari upaya politisasi yang panas ini. Spiritualitas umat Islam yang meningkat di bulan Ramadhan menjadikan masjid sebagai tempat yang memiliki tarikan magnetik bagi para politisi. Pada saat itu, terjadi bermacam manuver politik praktis di atas mimbar-mimbar masjid, dari pembunuhan karakter lawan politik dengan taktik takfir (vonis kafir) sampai propaganda kekerasan yang memecah belah dan mengancam keutuhan negara.
Politisasi tempat ibadah ini mendorong
pemerintah Maroko, Raja Muhammad VI, untuk mengeluarkan sebuah putusan
resmi yang fundamental berkaitan dengan aktivitas politik di masjid
berupa larangan bagi para imam masjid dan khatib untuk terlibat dalam
segala bentuk aktivitas politik, termasuk menunjukkan pandangan politik.
Hasilnya, Maroko saat ini menjadi negara yang relatif stabil dibanding
negara Arab lainnya di Timur Tengah yang tidak mempunyai regulasi
semacam ini, seperti Libya dan Mesir.
Kedua
negara tersebut porak-poranda karena khatib atau penceramahnya diberi
kebebasan tidak terbatas dalam melakukan hujatan politik berbalut agama,
hingga mengaburkan pandangan masyarakat terhadap agama yang sakral dan
politik yang profan. Tentu propaganda di tempat ibadah bukan sebab
tunggal terjadinya krisis di sana, namun impact-nya tidak dapat
diremehkan. Faktanya penggerakan massa biasanya dilaksanakan di hari
Jumat seusai salat Jumat dan berawal dari masjid. Politisasi masjid
tidak bisa dianggap kecil perannya dalam membakar konflik Timur Tengah.
Pengalaman
politik Timur Tengah mestinya memotivasi bangsa Indonesia untuk semakin
waspada, karena peristiwa berupa alih fungsi masjid menjadi komoditas
atau alat politik praktis sudah lama terjadi di negara ini. Beberapa
waktu yang lalu sejumlah orang yang mengatasnamakan diri Majelis Pelayan
Jakarta (MPJ) bersama sejumlah ormas berkumpul di Masjid Istiqlal untuk
melahirkan sebuah pernyataan yang kemudian disebut Risalah Istiqlal, di
mana intinya meminta umat Islam untuk tidak memilih calon pemimpin
non-muslim dalam Pilkada DKI yang akan datang. Aktivitas ini jelas
merupakan politik praktis, bukan politik kemanusiaan atau keumatan.
Umat
Islam mempunyai tanggungjawab moral menjawab tantangan ini. Agama
memang mempunyai perhatian yang komprehensif atas kehidupan, tapi masjid
adalah rumah semua orang beriman (bayt al-mukminin), sehingga
selayaknya menjadi pengayom. Sedangkan politik praktis merupakan buah
ijtihad yang setiap orang berhak mempunyai putusan sendiri-sendiri,
sehingga ijtihad politik sebuah kelompok tidak seyogyanya dipaksakan
atas kelompok yang lain di dalam satu masjid.
Syafi’i
Ma’arif pernah menulis: “Tuan dan puan bisa bayangkan, jika dalam
khutbah Jum’at diselipkan kampanye politik partai tertentu, pastilah
masjid berhenti menjadi tempat yang nyaman, diliputi oleh suasana
persaudaraan. Perpecahan di akar rumput akan menjadi sulit dihindari,
seperti yang dulu pernah berlaku. Jalan yang paling arif menurut saran
saya adalah membebaskan semua masjid dari gesekan politik kepentingan
sesaat. Jadikan Rumah Allah ini sebagai tempat teduh dan sejuk buat
semua orang beriman, terlepas dari apa pun partai yang didukungnya,”
(Masjid dan Kampanyte Politik, Republika, ). Cukuplah masjid menjadi
tempat ibadah dan pembelajaran agama, politik praktis tidak perlu masuk
ke sana.
Rasul
bahkan pernah memerintahkan, dalam rangka menjaga “kesucian” masjid,
dilarang melakukan perniagan di masjid, begitu pula mengumumkan barang
yang hilang di dalamnya. Menggunakan masjid sebagai mimbar kampanye
politik praktis dikhawatirkan akan menodai kesucian masjid. Sudah
sepatutnya umat lebih waspada dan cerdas untuk menggunakan rumah Allah
ini sesuai dengan fungsinya, yakni untuk beribadah dalam rangka
mendekatkan diri pada Allah, bukan kampanye yang bisa memecah belah.
No comments:
Post a Comment